Puri Agung Jro Kuta 2

Puri Agung Jero Kuta

Puri Agung Jero Kuta diperkirakan didirikan pada tahun 1820 oleh Dewa Gde Jambe Badung dengan gelar Kyai Agung Gde-Jro Kuta Kahuningan. Keluarga Puri Agung Jero Kuta merupakan keturunan Puri Agung Klungkung, pusat kekuasaan raja-raja Bali di masa lalu. Tataletak Puri Agung Jero Kuta terbilang masih bertahan seperti aslinya.

Di pelataran puri ini terdapat empat gapura besar yang disebut nyatur singa, yang artinya ‘empat lokasi berbeda di satu tempat’. Karena tataletaknya yang masih asli, Puri Agung Jero Kuta kerap dipilih sebagai tempat foto prewedding bernuansa adat Bali.

Puri Agung Jero Kuta dikenal sebagai puri yang mempertahankan kearifan lokal tradisi menenun. Dua tokohnya, yaitu I Gusti Ngurah Alit Gede dan I Gusti Ngurah Agung ikut gugur dalam perang Puputan Badung. Keluarga Puri Agung Jero Kuta menjadi pangempon (penanggung jawab) Pura Luhur Uluwatu, sebuah pura penting di Bukit Pecatu, Badung Selatan.

bale-kulkul-br-gerenceng-2

Bale Kulkul Banjar Gerenceng

Bale kulkul Banjar Gerenceng merupakan salah satu bangunan bersejarah di Kota Denpasar. Bale kulkul ini terekam dalam foto-foto dan video Bali tempo dulu tahun 1920-an. Dalam arsitektur Bali, bale kulkul menjadi bangunan penting dari suatu kompleks puri, banjar maupun pura. Kulkul atau kentongan tiada lain sebagai alat komunikasi tradisional masyarakat Nusantara. 

Di Bali, tiap banjar memiliki bale banjar atau bale gede (bangunan utama berupa wantilan) yang dilengkapi dengan pura penyarikan dan bale kulkul. Pura penyarikan merupakan tempat suci bagi seluruh warga banjar, sedangkan bale kulkul sebagai bangunan tempat menggantung kulkul. Kulkul itu akan dipukul saat ada upacara atau sebagai pemberitahuan kepada wargfa untuk mengikuti rapat banjar atau kabar duka salah seorang warga banjar yang meninggal dunia. 

Bale Banjar Gerenceng diperkirakan didirikan pada masa kolonial, yakni sekitar tahun 1925. Bale banjar ini berdekatan dengan Puri Gerenceng, salah satu puri penting di Denpasar, serta Pura Maospahit. Kini, Banjar Gerenceng terletak di Jalan Sutomo, Denpasar. Pada tahun 2005, Bale Banjar Gerenceng direstorasi untuk mempertahankan warisan arsitektur leluhur agar tidak lapuk oleh perkembangan. Restorasi dilakukan dengan melibatkan arsitek Anak Agung Yoka Sara, generasi keempat pendiri Banjar Gerenceng. 

Source Cover Image: Denpasar Kota

Source: Google Maps

pura maospait 3

Pura Maospait

Pura Maospahit merupakan salah satu peninggalan zaman Bali Kuno. Menurut lontar Purana Tattwa Pura Maospahit yang tersimpan di Griya Kekeran, Blahbatuh, Pura Maospahit awalnya didirikan Patih Ki Kebo Iwa sekitar tahun Isaka 1200 atau 1278 Masehi. Kala itu, Kebo Iwa dalam perjalanan menyusuri desa-desa, seperti Bualu, Pecatu, Tugaling Pring serta Kalijajuan. Saat hendak menuju Kapal, patih termahsyur itu sempat mendirikan Parahyangan Candi Raras Maospahit.

Candi Raras Maospahit memang diduga kuat sebagai bangunan paling awal di pura tersebut. Kata Maos diduga berasal dari kata mawos yang berarti berbuah. Makna ini sejajar dengan maja yang juga berupa buah. Namun, ada juga versi lain yang menyebut Maospahit berasal dari kata maos yang artinya berbicara serta pahit yang artinya kesulitan atau masalah. Konon, pada masa lalu, jika ada masalah-masalah kerajaan yang sulit, kerap dibahas di Pura Maospahit dan solusi pun akhirnya bisa didapat.

Penelitian dari Proyek Penggalian Seni Budaya Klasik Tahun 1980/1981, yang hasilnya dituangkan dalam Hasil Inventarisasi Pura-pura/Tempat-tempat Bersejarah dalam rangka Rerouting Pariwisata Daerah Bali, menyatakan Pura Maospahit pernah difungsikan sebagai pura Kerajaan Badung.

Kini Pura Maospahit di-empon oleh keluarga besar pamangku pura yang jumlahnya sekitar 30 kepala keluarga (KK). Pujawali (upacara hari peringatan pendirian pura) ini dilakukan dua kali setahun. Pertama, saat Purnama Kapat (purnama bulan ke empat dalam penanggalan Bali, sekitar bulan Oktober) dan Purnama Kadasa (purnama bulan ke sepuluh dalam penanggalan Bali, sekitar bulan Maret).

 

Gajah Mada 1

Jalan Gajah Mada, sebagai kawasan niaga multikultur

Jalan Gajah Mada merupakan ikon Kota Denpasar. Orang belum merasa ke Denpasar bila belum menginjakkan kaki di Jalan Gajah Mada. Pada era kolonial, Jalan Gajah Mada menjadi akses utama masyarakat, sekaligus merupakan embrio berkembangnya pariwisata Denpasar. Daya tarik utama Jalan Gajah Mada, tentu saja, sisi historisnya yang ditunjukkan dengan bangunan-bangunan tua di kanan-kiri. Sehingga ditetapkan sebagai kawasan heritage atau warisan budaya sejak tahun 2008.

Sejak zaman kolonial, Jalan Gajah Mada merupakan kawasan niaga dengan katakteristik multikultural yang kental. Di sini, para pedagang keturunan Tionghoa, Arab, India, Madura, dan Jawa, telah terbiasa hidup berdampingan secara harmonis. Masyarakat Kota Denpasar juga mengenang Jalan Gajah Mada sebagai pusat hiburan, khususnya film. Di sepanjang Jalan Gajah Mada berdiri sejumlah bioskop, seperti Wisnu Teater di ujung barat Jalan Gajah Mada, Hollywood Teater yang kemudian berubah menjadi Indra Djaja, lalu Indra Teater di simpang barat Jalan Gajah Mada.

Pada tahun 1964, pernah digelar ajang festival budaya di Jalan Gajah Mada bertajuk Festival Gajah Mada. Dalam teks-teks karya sastra Indonesia maupun Bali Modern, keberadaan Jalan Gajah Mada dilukiskan sebagai kawasan yang “tak mengenal tidur”.

Source Cover Image: beritabali.com 

Source Instragram: Dede Yulianto

Source: denpasarfestival.id

patung-kala-tri-semaya-hd-2

Patung Kala Tri Semaya

Sepasang patung berwujud raksasa di ruas Jalan Gajah Mada, dekat jembatan Tukad Badung dan depan Pasar Badung, merupakan visualisasi Sang Kala Tri Semaya. Patung setinggi 3 motor dan berbobot 3,3 ton ini selesai digarap pada 29 November 2021 dan baru dipasang pada 30 November 2021 malam serta diupacarai pada pertengahan Desember 2021 bertepatan dengan pelaksanaan Denpasar Festival. Hasil karya seni tersebut merupakan buah tangan seniman Kota Denpasar, I Nyoman Gede Sentana Putra atau yang akrab disapa Kedux. Patung ini diselesaikan selama tiga bulan, dibantu rekan-rekan Kedux dari Tabanan serta Gianyar.

Sang Kala Trisemaya sejatinya visualisasi tiga dimensi cerita lontar Siwagama. Sang Kala Trisemaya merupakan sosok penjaga bumi yang dipersepsikan mampu dan peka terhadap perilaku dan gerak-gerik manusia, seperti salah laku, salah ujar dan berbohong.

Dalam lontar Siwagama diceritakan bahwa Hyang Batara Guru beryoga hingga lahirlah pendeta muda Sanghyang Dharmajaya yang disebut juga Sang Resi Sidhiwasitadewa. Dalam yoga semadinya, Sanghyang Dharmajaya mendapatkan energi luar biasa. Beliau memuja Dewa Api sehingga tidak tersentuh, tidak terpengaruh oleh siang dan malam, tidak makan dan tidak minum.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran Sanghyang Trisemaya (Brahma, Wisnu dan Iswara) karena dikira Sanghyang Dharmajaya akan menghancurkan dunia. Sanghyang Trisemaya pun berwujud sosok menakutkan, yakni Sang Kalarudra (Brahma), Sang Kalasambhu (Wisnu), Sang Kalamaya (Iswara) yang disebut sebagai Sang Kala Tiga dan diberi tugas oleh Sang Hyang Trisemaya untuk membunuh Sang Resi Sidhiwasitadewa.

Sang Kala Tiga pun menyerang Sanghyang Dharmajaya, tetapi tak kunjung bisa dikalahkan. Demikian pula Sanghyang Trisemaya tak mampu membunuh Sanghyang Dharmajaya. Sanghyang Trisemaya pun menghadap Hyang Batara Guru dan menceritakan peristiwa itu. Hyang Batara Guru menjelaskan bahwa Sanghyang Dharmajaya merupakan perwujudan beliau sehingga tidak mungkin dapat dibunuh.

Namun, agar kemarahan Sanghyang Trisemaya lenyap, Hyang Batara Guru mengembalikan Sanghyang Dharmajaya hingga bisa dibunuh oleh Sang Kala Tiga. Selanjutnya, Sang Tri Semaya juga membunuh Sang Kala Tiga. Abunya menjadi Gunung Wiyanggama. Dunia kembali tenang dan damai.

Singkat cerita, dikisahkan atma (roh) Sang Kala Tiga keluar dari Gunung dan menyembah ke hadapan Bhatara Guru dan memohon izin menguasai dunia. Batara Guru memberikan anugrah kepada Sang Kala Tiga untuk menguasai dunia saat zaman Kali (zaman kehancuran) tiba serta akan memiliki anak sebanyak 108.

patung-dewi-melantig-cropped

Patung Dewi Melanting

Selain patung Sang Kala Trisemaya di ruas Jalan Gajah Mada, di areal Pasar Badung juga berdiri patung Ida Ratu Mas Melanting. Patung ini dipasang bersamaan dengan patung Sang Kala Trisemaya pada 30 November 2021. Patung setinggi 4,5 meter dan lebar 1,5 meter ini buah karya Putu Marmar Herayukti yang selama ini dikenal sebagai seniman ogoh-ogoh dan seniman tato asal Banjar Gemeh, Desa Dauh Puri Kangin, Denpasar.

Patung Ida Ratu Mas Melanting diniatkan pembuatnya menjadi ikon kemakmuran masyarakat di Kota Denpasar. Ada pesan khusus yang ingin diangkat lewat patung ini, yakni prinsip penting dalam dunia perdagangan maupun kehidupan, yakni adil, jujur, dan bermutu.

Dalam teks-teks sastra tradisional disebutkan, sosok Ida Ratu Mas Melanting adalah putri dari Dang Hyang Nirarta, maharsi suci dari Jawa Timur yang turut membangun peradaban Hindu di Bali. Ratu Ayu Mas Melanting memiliki nama asli Ida Ayu Swabhawa. Tokoh ini dicitrakan memiliki karakter bijaksana, cerdas dan ahli dalam perniagaan. Kecantikan serta karakter Ida Ayu Swabhawa menyebabkan dirinya terkenal sebagai pedagang yang selalu digemari oleh pelanggannya dan dijadikan contoh bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang. Karena itu, hingga kini masyarakat Bali senantiasa memberikan penghormatan kepada Ratu Ayu Mas Melanting. Beliau dianggap sebagai simbol intelektual perempuan Bali dalam bidang kewirausahaan.

Source Image Cover: Denpasar Tourism

DCIM100MEDIADJI_0016.JPG

Pura Desa lan Puseh Denpasar

Lokasi pura Desa lan Puseh Denpasar adalah di Banjar Wangaya Kelod, Dauh Puri Kaja, Denpasar Utara. Pura ini menampakkan struktur berundak-undak yang terdiri atas tiga halaman; jeroan, jaba tengah, dan jaba sisi.

Dimiliki oleh desa adat, tergolong sebagai pura kahyangan desa, pengemongnya 17 banjar, dan disungsung oleh 92 banjar. Di pura ini ditemukan tinggalan arkeologi berupa arca Ganesa, yang diperkirakan berasal dari abad XIV-XV, ditempatkan di dalam gedong sesuunan Desa Lan Puseh.

Arca dalam sikap duduk di atas padmaganda, bertangan empat, tangan kanan belakang membawa aksamala, tangan kiri belakang membawa kapak, tangan kanan depan membawa patahan taring, tangan kiri depan membawa mangkok, mahkota berupa kelopak daun padma bertingkat-tingkat, upawita berupa ular, belalai mengisap mangkok.

Source Cover Image: kebudayaan.kemdikbud.go.id/

pasar badung 2

Plataran Pasar Badung/Pasar Badung

Pasar Badung merupakan pusat kegiatan ekonomi di Kota Denpasar, bahkan di Bali. Nama pasar ini diambil dari nama sungai yang mengalir di dekatnya, yaitu Tukad (Sungai) Badung. Awalnya, lokasi Pasar Badung di sebelah selatan Puri Denpasar (gedung Jaya Sabha). Pada masa kolonial, yaitu sekitar tahun 1907, Pasar Badung dipindahkan ke barat di dekat Tukad Badung, di area Pasar Badung dan Pasar Kumbasari sekarang.

Sebelumnya, di lokasi ini telah berdiri juga pasar khusus gerabah yang dikenal dengan sebutan Peken Payuk. Seiring merosotnya popularitas peralatan dapur dari gerabah, Peken Payuk berubah menjadi pasar modern dan namanya juga berubah menjadi menjadi Pasar Kumbasari. Pasar Badung dan Pasar Kumbasari identik dengan sosok para perempuan tukang suun (juru junjung belanjaan). Penataan Pasar Badung dilakukan tahun 1977. Perubahan bentuk arsitektur Pasar Badung menjadi bertingkat diresmikan pada 24 April 1984. Pada 29 Februari 2016, Pasar Badung mengalami kebakaran hebat. Setahun kemudian, Pasar Badung direnovasi sebagai pasar rakyat yang lebih modern.

Pada 24 Maret 2019, Pasar Badung dengan arsitektur baru yang khas diresmikan Presiden Joko Widodo. Pasar Badung saat ini memiliki kapasitas enam lantai yang terdiri atas dua basement dan empat lantai untuk los dan kios. Total ada 1.450 unit los dan 290 unit kios. Presiden Jokowi mengagumi Pasar Badung sebagai pasar rakyat dengan arsitektur paling bagus di Indonesia.

jalan-sulawesi

Jalan Sulawesi sebagai sentra niaga pertekstilan

Siapa pun yang hendak berburu kain di Kota Denpasar, tak bisa melewatkan kawasan Jalan Sulawesi. Ruas jalan di sisi timur Pasar Badung ini dikenal sebagai pusat perdagangan kain di Denpasar, bahkan di Bali. Di sepanjang jalan ini berjejer toko-toko kain produk beragam industri tekstil di Bali maupun luar Bali.

Umumnya, toko-toko di sepanjang Jalan Sulawesi khusus kain renda halus yang digunakan untuk kebaya. Kain-kain itu bisa dibeli secara meteran maupun per potong. Tersedia juga kain kamen (sarung) dengan ratusan motif dan warna, termasuk kain selimut. Jika hendak berkunjung, waktu yang tepat adalah pagi hari, sebelum hari semakin panas. Sebabnya, sangat sedikit toko dilengkapi AC. Sebagian besar toko dibuka pada hari Senin sampai Sabtu dari pukul 9 pagi sampai pukul 5 sore dan pada hari Minggu mulai pukul 9 sampai pukul 3 sore.

Keberadaan Jalan Sulawesi sebagai sentra perdagangan kain di Kota Denpasar sudah muncul sejak masa kolonial. Kawasan ini dulu dikenal sebagai Kampung Arab. Hal Ini merujuk kepada kompleks perdagangan kain yang umumnya dijalankan oleh parapedagang keturunan Arab.

Itu sebabnya, lebih dari sekadar sentra perdagangan kain, kawasan Jalan Sulawesi merupakan salah satu heritage yang menjadi tiang penyangga wajah multikulturalisme Kota Denpasar.

Source Cover Image: seminyaktimes.com 

jalan-hassanudin-1

Rute Jalan Hasanuddin – Jalan Bukit Tunggal

Setelah melewati ujung selatan Jalan Sulawesi, pengunjung akan memasuki Jalan Hasanudin. Jika Jalan Sulawesi dikenal sebagai sentra perdagangan kain, Jalan Hasanudin merupakan kawasan perdagangan emas. Di sepanjang jalan ini berjejer toko-toko emas yang menyediakan aneka perhiasan emas berkualitas.

Toko-toko perhiasan di sepanjang Jalan Hasanudin biasanya buka sejak pukul 08.00 wita hingga malam hari pukul 21.00 wita. Emas yang dijual di toko-toko di kawasan ini beragam, mulai dari emas berkadar rendah hingga tinggi. Tak hanya menjual, toko-toko emas di Jalan Hasanudin juga membeli emas dari pelanggan yang hendak menjual perhiasan emasnya.

Selain pusat perdagangan emas, dari kawasan Jalan Hasanudin juga dapat dilihat Tukad Badung yang membelah Pasar Badung. Dari atas jembatan, pengunjung bisa menikmati keindahan Tukad Badung yang kini menjadi destinasi wisata baru di Kota Denpasar.

Belok ke kiri dari simpang empat bagian barat Jalan Hasanudin, pengunjung akan menyusuri kawasan Jalan Bukit Tunggal. Di kawasan ini berdiri sejumlah hotel Melati yang kerap dipilih wisatawan domestik.

Source Cover Image: porosbali.com

kantor-wali-kota-denpasar 1

Kantor Wali Kota Denpasar

Kantor Walikota Denpasar merupakan pusat pemerintahan Kota Denpasar. Peran penting tempat ini berkaitan erat dengan perubahan Denpasar yang pada awalnya sebagai kecamatan di wilayah Kabupaten Badung menjadi kota administratif sejak tahun 1978.

Pada tahun 1992, Kotif Denpasar dinaikkan statusnya menjadi kota madya setingkat kabupaten pada 27 Februari 1992. Untuk menjalankan kegiatan pemerintahan kota,
didirikanlah Kantor Walikota Denpasar di lokasi saat ini. Pada masa kerajaan, kantor Walikota Denpasar merupakan Jro Anyar, sebuah kediaman raja Badung.

Setelah jatuhnya Kerajaan Badung pascaperang Puputan Badung 20 September 1906, pemerintah kolonial Belanda menata ulang kawasan Puri Denpasar dan sekitarnya. Jro Anyar dijadikan kantor kontrolir, yaitu pejabat di bawah asisten residen yang berdampingan dengan rumah jabatannya. Kompleks kantor dan rumah kontrolir berdekatan dengan kantor dan rumah asisten residen (di bekas Puri Denpasar) yang kini menjadi rumah jabatan Gubernur Bali, Jaya Sabha.

Source Cover Image: Google Maps

patung catur muka

Patung Catur Muka – Lonceng Kolonial Belanda

Patung Catur Muka terletak di ujung timur Jalan Gajah Mada dan merupakan ikon penting Kota Denpasar. Tempat berdirinya patung Catur Muka merupakan kawasan catus patha (simpang empat utama) di Kota Denpasar. Ide pembuatan patung ini lahir setelah disahkannya Lambang Daerah Kabupaten Badung oleh DPRD, serta telah mendapat pengesahan Mendagri tanggal 17 Juli 1971.

Patung Catur Muka melibatkan I Wayan Limbak, pemacek pura Samuan Tiga yang didukung para undagi I Gusti Aji Madongan, I Gusti Ngurah Cangbe, dan I Nyoman Suka

Patung granit setinggi sembilan meter itu berwujud empat muka. Patung ini melambangkan Dewa Brahma yang memiliki empat wajah dengan sifat berbeda. Wajah yang menghadap timur (ke Jalan Surapati) disebut Shanghyang Iswara, mewakili sifat bijaksana. Wajah yang menghadap ke barat (ke Jalan Gajah Mada) disebut sebagai Sanghyang Mahadewa yang mewakili sifat kasih sayang. Wajah yang menghadap utara (ke Jalan Veteran) disebut Sanghyang Wisnu yang dimaknai mewakili sifat kuat dan mensucikan jiwa manusia. Wajah yang menghadap ke selatan (ke Jalan Udayana) disebut sebagai Sanghyang Brahma yang dimaknai mewakili sifat menjaga ketentraman.

Di sisi tenggara patung Catur Muka dipajang jam lonceng berukuran besar dari zaman kolonial. Jam lonceng ini ditancapkan pemerintah Belanda pada tahun 1908 di lokasi patung Catur Muka sekarang. Keberadaan jam lonceng ini sebagai penanda modernisasi di Kota Denpasar, yaitu standarisasi waktu ala kolonial sekaligus menjadi simbol transformasi Denpasar dari kota kerajaan ke kota kolonial.

lapangan puputan badung

Lapangan Puputan Badung(I Gusti Ngurah Made Agung)

Lapangan Puputan Badung atau Lapangan I Gusti Ngurah Made Agung erat kaitannya dengan peristiwa heroik Puputan Badung, 20 September 1906. Di lokasi inilah, yang awalnya dikenal sebagai alun-alun, Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung yang dikenal juga dengan sebutan Tjokorda Mantuk ring Rana (raja yang gugur di medan perang) bersama

kerabat dan rakyat melakukan perang habis-habisan (matelasan atau puputan, telas atau puput berarti ‘habis’) menghadapi tentara Belanda. Perang Puputan Badung mencerminkan perlawanan raja dan rakyat Badung menentang kolonialisme Belanda. Perang ini dipicu oleh tuntutan Belanda kepada Raja Badung untuk membayar ganti rugi atas tuduhan perampasan kapal Sri Komala di Pantai Sanur. Raja I Gusti Ngurah Made Agung menolak tuntutan Belanda itu dan memilih melawan sampai titik darah penghabisan. Istana I Gusti Ngurah Made Agung dulu bernama Puri Denpasar yang berada di sebelah utara alun-alun atau Lapangan Puputan Badung sekarang. Setelah diduduki Belanda, istana itu dijadikan kantor dan rumah jabatan Asisten Residen Bali dan Lombok. Setelah Indonesia merdeka, tempat itu dijadikan rumah jabatan Gubernur Bali yang kini dikenal dengan nama Jaya Sabha.

Selain diabadikan menjadi nama lapangan, I Gusti Ngurah Made Agung juga diabadikan dengan sebuah patung di simpang empat Banjar Taensiat, Denpasar, kira-kira 800 meter arah utara patung Catur Muka. Patung itu memvisualisasikan Raja I Gusti Ngurah Made Agung memegang lontar. Memang, selain sebagai raja, beliau juga dikenal sebagai sastrawan penting Bali dengan karya-karya sastra tradisional yang diakui memiliki nilai sastra dan nila- nilai filosofis tinggi. Pada ruas Jalan Veteran yang menghubungkan patung Catur Muka dengan patung I Gusti Ngurah Made Agung, juga berdiri Puri Agung Satria yang dihuni keturunan raja-raja Badung dari Puri Denpasar. Selain itu, di jalur jalan ini juga berdiri Pasar Satria yang dikenal sebagai pasar burung terbesar di Bali.

IMG_0653

Pura Agung Jagatnata Kota Denpasar

Pura Jagatnatha Kota Denpasar didirikan pada tahun 1968. Pura ini berstatus sebagai pura umum, yang diresmikan dalam upacara pamlaspas alit pada Purnama Jyestha, 13 Mei 1968. Bangunan utama di pura ini berupa sebuah padmasana setinggi 15 meter yang menghadap ke barat dan merupakan padmasana tertinggi dan terbesar di Kota Denpasar.

Tempat suci ini terbuat dari batu karang putih dan pada bagian menara terdapat ukiran wajah dan tangan Bhoma (anak bumi). Sebagai pura umum, Pura Jagatnatha kerap dibanjiri umat Hindu dari berbagai tempat di Kota Denpasar dan sekitarnya. Terutama, saban hari Purnama (bulan terang) dan Tilem (bulan mati). Di pura ini juga rutin dilaksanakan suatu acara diskusi sastra bertajuk “Purnama Badrawada”.