ina bali hotel heritaga hotel hotel indonesia group

Bali Hotel

Inna Bali Heritaga Hotel, sebelumnya dikenal sebagai Bali Hotel, adalah akomodasi pariwisata paling tua di Bali yang dibangun pada tahun 1927 oleh pemerintahan kolonial Belanda. Awalnya, hotel ini dimanfaatkan sebagai tempat istirahat bagi awak kapal dari Perusahaan Pelayaran Belanda KPM (Koninkelijke Paketvaar Matschappij) yang merapat di Bali. Bali Hotel mulai beroperasi pada tahun 1928 setelah diserahkan oleh Pemerintah Belanda kepada KPM.

Inna Bali Heritage Hotel merupakan kompleks bangunan yang terletak di kedua sisi Jalan Veteran. Area hotel di sisi barat jalan dibangun dengan desain arsitektur Eropa, terlihat pada bangunan lobi, kantor depan, dapur, ruang makan, dan penginapan. Bagian hotel yang berada di sisi timur jalan meliputi gedung multifungsi dan kamar tidur. Salah satu kamar istimewa hotel ini adalah Suite No. 77, tempat istirahat favorit Presiden RI pertama, Ir. Soekarno.

Bali Hotel adalah testamen perpaduan budaya Bali tradisional dan kenyamanan modern. Hotel ini memamerkan arsitektur yang terinspirasi dari warisan budaya Bali yang unik dan modernitas bernuansa kolonial. Walter Spies, Colin McPhee, Jane Belo, Miguel Covarrubias, Margaret Mead, Gregory Bateson, dan Charlie Chaplin adalah sederet seniman dan ilmuwan asing, yang kerap berkumpul di hotel legendaris tersebut pada masa tahun 1930-an.

gajah-mada-timur-1-cropped

Sisi Barat Jalan Gajah Mada, Patung Kala Tri Semaya dan Dewi Melanting

Jalan Gajah Mada merupakan ikon Kota Denpasar. Orang belum merasa ke Denpasar bila belum menginjakkan kaki di Jalan Gajah Mada. Pada era kolonial, Jalan Gajah Mada menjadi akses utama masyarakat, sekaligus merupakan embrio berkembangnya pariwisata Denpasar. Daya tarik utama Jalan Gajah Mada, tentu saja, sisi historisnya yang ditunjukkan dengan bangunan-bangunan tua di kanan-kiri. Sehingga ditetapkan sebagai kawasan heritage atau warisan budaya sejak tahun 2008.

Sejak zaman kolonial, Jalan Gajah Mada merupakan kawasan niaga dengan katakteristik multikultural yang kental. Di sini, para pedagang keturunan Tionghoa, Arab, India, Madura, dan Jawa, telah terbiasa hidup berdampingan secara harmonis. Masyarakat Kota Denpasar juga mengenang Jalan Gajah Mada sebagai pusat hiburan, khususnya film. Di sepanjang Jalan Gajah Mada berdiri sejumlah bioskop, seperti Wisnu Teater di ujung barat Jalan Gajah Mada, Hollywood Teater yang kemudian berubah menjadi Indra Djaja, lalu Indra Teater di simpang barat Jalan Gajah Mada.

Pada tahun 1964, pernah digelar ajang festival budaya di Jalan Gajah Mada bertajuk Festival Gajah Mada. Dalam teks-teks karya sastra Indonesia maupun Bali Modern, keberadaan Jalan Gajah Mada dilukiskan sebagai kawasan yang “tak mengenal tidur”.

Sepasang patung berwujud raksasa di ruas Jalan Gajah Mada, dekat jembatan Tukad Badung dan depan Pasar Badung, merupakan visualisasi Sang Kala Tri Semaya. Patung setinggi 3 motor dan berbobot 3,3 ton ini selesai digarap pada 29 November 2021 dan baru dipasang pada 30 November 2021 malam serta diupacarai pada pertengahan Desember 2021 bertepatan dengan pelaksanaan Denpasar Festival. Hasil karya seni tersebut merupakan buah tangan seniman Kota Denpasar, I Nyoman Gede Sentana Putra atau yang akrab disapa Kedux. Patung ini diselesaikan selama tiga bulan, dibantu rekan-rekan Kedux dari Tabanan serta Gianyar.

Sang Kala Trisemaya sejatinya visualisasi tiga dimensi cerita lontar Siwagama. Sang Kala Trisemaya merupakan sosok penjaga bumi yang dipersepsikan mampu dan peka terhadap perilaku dan gerak-gerik manusia, seperti salah laku, salah ujar dan berbohong.

Selain patung Sang Kala Trisemaya di ruas Jalan Gajah Mada, di areal Pasar Badung juga berdiri patung Ida Ratu Mas Melanting. Patung ini dipasang bersamaan dengan patung Sang Kala Trisemaya pada 30 November 2021. Patung setinggi 4,5 meter dan lebar 1,5 meter ini buah karya Putu Marmar Herayukti yang selama ini dikenal sebagai seniman ogoh-ogoh dan seniman tato asal Banjar Gemeh, Desa Dauh Puri Kangin, Denpasar.

Patung Ida Ratu Mas Melanting diniatkan pembuatnya menjadi ikon kemakmuran masyarakat di Kota Denpasar. Ada pesan khusus yang ingin diangkat lewat patung ini, yakni prinsip penting dalam dunia perdagangan maupun kehidupan, yakni adil, jujur, dan bermutu.

Dalam teks-teks sastra tradisional disebutkan, sosok Ida Ratu Mas Melanting adalah putri dari Dang Hyang Nirarta, maharsi suci dari Jawa Timur yang turut membangun peradaban Hindu di Bali. Ratu Ayu Mas Melanting memiliki nama asli Ida Ayu Swabhawa. Tokoh ini dicitrakan memiliki karakter bijaksana, cerdas dan ahli dalam perniagaan. Kecantikan serta karakter Ida Ayu Swabhawa menyebabkan dirinya terkenal sebagai pedagang yang selalu digemari oleh pelanggannya dan dijadikan contoh bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang. Karena itu, hingga kini masyarakat Bali senantiasa memberikan penghormatan kepada Ratu Ayu Mas Melanting. Beliau dianggap sebagai simbol intelektual perempuan Bali dalam bidang kewirausahaan.

Source: Google Maps

Source: Google Maps

jalan-thamrin

Jalan Thamrin sebagai sentra perdagangan

Jalan Thamrin merupakan kawasan perdagangan dan jasa, sekaligus sebagai kawasan transisi antara pusat perdagangan kota Denpasar dengan daerah yang sebagian besar merupakan permukiman. Selain keberadaan Puri Agung Pemecutan sebagai heritage bernilai historis-kultural tinggi, di sepanjang Jalan Thamrin berdiri sejumlah perkantoran dan perdagangan. Di kawasan ini berdiri kompleks pertokoan Lokitasari yang melegenda.

Selain kawasan perdagangan, kini Jalan Thamrin juga dikenal dengan ikon bioskop Denpasar Cineplex. Sebelumnya, sejak tahun 1986, di sini pernah berdiri bioskop Wisata 21 dari jaringan Cineplex 21. Namun, seiring meredupnya industri bioskop, pada tahun 2008, Wisata 21 ditutup. Pada tahun 2013, merespons kembali meningkatnya kebutuhan masyarakat Denpasar terhadap bioskop, berdirilah Denpasar Cineplex hingga sekarang.

Jalan Thamrin awalnya bernama Jalan Gambuh. Namun, pada tahun 1964, Pemerintah melakukan perubahan besar-besaran atas nama jalan di Kota Denpasar. Kala itu, nama jalan di Denpasar ditata menjadi empat sektor, yaitu sektor satu di Timur Laut menggunakan nama buah; sektor dua di Tenggara menggunakan nama pahlawan; sektor tiga di Barat Daya nama pulau/gunung; dan di Barat Laut menggunakan nama kesenian. Perubahan nama jalan disosialisasikan di surat kabar Suara Indonesia (nama lama Bali Post) secara bersambung mulai edisi 29 Mei 1964 (di halaman depan dan kemudian di halaman dalam). Saat itu banyak jalan yang mengalami perubahan nama, kecuali Jalan Gajah Mada.

Jalan Gambuh yang berada di sektor tenggara turut berubah nama menjadi Jalan Thamrin yang merujuk nama salah satu pahlawan nasional Indonesia.

jalan-hassanudin-1

Jalan Hasanuddin

Setelah melewati ujung selatan Jalan Sulawesi, pengunjung akan memasuki Jalan Hasanudin. Jika Jalan Sulawesi dikenal sebagai sentra perdagangan kain, Jalan Hasanudin merupakan kawasan perdagangan emas. Di sepanjang jalan ini berjejer toko-toko emas yang menyediakan aneka perhiasan emas berkualitas.

Toko-toko perhiasan di sepanjang Jalan Hasanudin biasanya buka sejak pukul 08.00 wita hingga malam hari pukul 21.00 wita. Emas yang dijual di toko-toko di kawasan ini beragam, mulai dari emas berkadar rendah hingga tinggi. Tak hanya menjual, toko-toko emas di Jalan Hasanudin juga membeli emas dari pelanggan yang hendak menjual perhiasan emasnya.

Selain pusat perdagangan emas, dari kawasan Jalan Hasanudin juga dapat dilihat Tukad Badung yang membelah Pasar Badung. Dari atas jembatan, pengunjung bisa menikmati keindahan Tukad Badung yang kini menjadi destinasi wisata baru di Kota Denpasar.

Belok ke kiri dari simpang empat bagian barat Jalan Hasanudin, pengunjung akan menyusuri kawasan Jalan Bukit Tunggal. Di kawasan ini berdiri sejumlah hotel Melati yang kerap dipilih wisatawan domestik.

patung-rsi-2

Patung Rsi di Pertigaan Suci

Memasuki persimpangan Jalan Diponegoro-Jalan Hasanuddin-Jalan Sumatra, pengunjung akan menemukan sebuah patung tepat di tengah persimpangan. Patung itu berupa sosok seorang rsi atau pendeta membawa genta. Masyarakat biasa menyebutnya sebagai Patung Rsi. Rsi atau pendeta merupakan sosok orang yang disucikan dalam kehidupan keagamaan masyarakat Bali.

Patung Rsi tampaknya sudah ada pada tahun 1920-an. Ini terlihat dari foto-foto Belanda. Karena itu, patung ini sudah berusia seabad. Hanya saja, kini posisi patung lebih tinggi. Dulu patung tersebut dipasang sejajar dengan jalan.

Patung Rsi merupakan ikon kawasan Suci. Dulu, kawasan Suci merupakan terminal untuk angkutan dalam kota dan antarkota, pompa bensin, dan pasar senggol. Kini, di kawasan ini berdiri kompleks pertokoan Suci Plaza yang dipenuhi oleh jejeran toko emas.

Sebelumnya, sejak lama tempat ini menjadi pusat kehidupan malam Kota Denpasar. Di tempat ini pula istilah nasi jingo mulai muncul hingga menjadi ikon kuliner Denpasar. Siang hari, kawasan Suci berfungsi sebagai terminal angkutan dalam kota dan antarkota. Pada tahun 1970-an hingga tahun 1980-an, angkutan kota dilayani bemo roda tiga. Selain itu, terminal Suci juga jadi tempat mangkal mini bus yang melayani angkutan ke Tabanan dan Negara.

Tahun 1980-an, seiring dengan usaha mempercantik dan mempermodern wajah Kota Denpasar, terminal Suci dialihfungsikan menjadi pertokoan bertingkat, Suci Plaza. Di bawahnya dimanfaatkan sebagai tempat parkir bawah tanah. Setelah itu, kawasan Suci, terutama Jalan Hasanuddin berubah menjadi kompleks pertokoan emas.

IMG_0996

Museum Bali

Museum Bali terletak di sebelah selatan Pura Jagatnatha, dan merupakan museum tertua di Bali. Pendirian museum itu dirintis sejak sejak tahun 1910 atas prakarsa Asisten Residen WFJ Kroon bersama para pemimin, dan tokoh seniman bali, I Gusti Ketut Kandel dari banjar abasan dan I Gusti Ketut Rai dari banjar belong, serta arsitek Jerman, Curt Grun-dler. Arsitektur Museum Bali merupakan perpaduan antara struktur bangunan pura (tempat suci) dan puri (keraton).

Pada tahun 1925, bangunan bergaya Karangasem, yang berbentuk bale panjang dan berada di pusat kompleks, telah berhasil dibangun sebagai representasi arsitektur Bali Timur. Struktur ini terdiri dari dua bagian, yaitu ruang luar dan ruang dalam. Beranda terbuka di ruang depan berfungsi sebagai tempat beristirahat bagi para pengunjung museum, sementara ruang dalam diperuntukkan sebagai area pameran.

Tak lama setelahnya, dua struktur tambahan rampung dibangun, yaitu Gedung Tabanan dan Gedung Buleleng. Gedung Tabanan, yang terletak di utara gedung Karangasem, didesain menyerupai meru dengan atap tumpang dua dan terbuat dari ijuk. Bangunan ini merupakan perwakilan seni arsitektur Bali Selatan. Sedangkan Gedung Buleleng, berlokasi di selatan gedung Karangasem, juga dirancang dengan bentuk meru. Struktur ini didukung oleh 33 sesaka – kayu yang diukir dengan motif pepatraan dan dicat dengan prada. Gedung ini memiliki empat pintu yang masing-masing mengarah ke empat penjuru mata angin. Di tengah ruangan, terdapat tugeh – poros tiang penyangga atap dengan patung singa bersayap (Singamara) di alasnya, yang merupakan simbol dari Kabupaten Buleleng.

Pada awalnya, Museum Bali ditangani Yayasan Bali Museum dan dibuka secara resmi pasa 8 Desember 1932 dengan nama Bali Museum. Setelah Indonesia merdeka, pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah RI pada 5 Januari 1966. Benda-benda koleksi di Museum Bali dapat meliputi benda-benda prasejarah, benda-benda dari zaman sejarah, dan benda-benda etnografi.

 

 

gajah-mada-timur-1-cropped

Jalan Gajah Mada (Timur)

Jalan Gajah Mada merupakan ikon Kota Denpasar. Orang belum merasa ke Denpasar bila belum menginjakkan kaki di Jalan Gajah Mada. Pada era kolonial, Jalan Gajah Mada menjadi akses utama masyarakat sekaligus merupakan embrio berkembangnya pariwisata Denpasar. Daya tarik utama Jalan Gajah Mada tentu saja sisi historisnya yang ditunjukkan dengan kehadiran bangunan-bangunan tua di kanan-kiri sehingga ditetapkan sebagai kawasan heritage atau warisan budaya sejak tahun 2008.

Sejak zaman kolonial, Jalan Gajah Mada merupakan kawasan niaga dengan katakteristik multuktural yang kental. Di sini, para pedagang keturunan Tionghoa, Arab, India, Madura, dan Jawa telah terbiasa hidup berdampingan secara harmonis. Masyarakat Kota Denpasar juga mengenang Jalan Gajah Mada sebagai pusat hiburan, khususnya film. Di sepanjang Jalan Gajah Mada berdiri sejumlah bioskop, seperti Wisnu Teater di ujung barat Jalan Gajah Mada, Hollywood Teater yang kemudian berubah menjadi Indra Djaja lalu Indra Teater di simpang barat Jalan Gajah Mada.

Pada tahun 1960-an, pernah digelar ajang festival budaya di Jalan Gajah Mada bertajuk Festival Gajah Mada. Dalam teks-teks karya sastra Indonesia maupun Bali Modern, keberadaan Jalan Gajah Mada dilukiskan sebagai kawasan yang “tak mengenal tidur”.

Source Image Cover: Google Maps

IMG_0653

Pura Agung Jagatnata Kota Denpasar

Pura Jagatnatha Kota Denpasar didirikan pada tahun 1968. Pura ini berstatus sebagai pura umum, yang diresmikan dalam upacara pamlaspas alit pada Purnama Jyestha, 13 Mei 1968. Bangunan utama di pura ini berupa sebuah padmasana setinggi 15 meter yang menghadap ke barat dan merupakan padmasana tertinggi dan terbesar di Kota Denpasar.

Tempat suci ini terbuat dari batu karang putih dan pada bagian menara terdapat ukiran wajah dan tangan Bhoma (anak bumi). Sebagai pura umum, Pura Jagatnatha kerap dibanjiri umat Hindu dari berbagai tempat di Kota Denpasar dan sekitarnya. Terutama, saban hari Purnama (bulan terang) dan Tilem (bulan mati). Di pura ini juga rutin dilaksanakan suatu acara diskusi sastra bertajuk “Purnama Badrawada”.

lapangan puputan badung

Lapangan Puputan Badung(I Gusti Ngurah Made Agung)

Lapangan Puputan Badung atau Lapangan I Gusti Ngurah Made Agung erat kaitannya dengan peristiwa heroik Puputan Badung, 20 September 1906. Di lokasi inilah, yang awalnya dikenal sebagai alun-alun, Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung yang dikenal juga dengan sebutan Tjokorda Mantuk ring Rana (raja yang gugur di medan perang) bersama

kerabat dan rakyat melakukan perang habis-habisan (matelasan atau puputan, telas atau puput berarti ‘habis’) menghadapi tentara Belanda. Perang Puputan Badung mencerminkan perlawanan raja dan rakyat Badung menentang kolonialisme Belanda. Perang ini dipicu oleh tuntutan Belanda kepada Raja Badung untuk membayar ganti rugi atas tuduhan perampasan kapal Sri Komala di Pantai Sanur. Raja I Gusti Ngurah Made Agung menolak tuntutan Belanda itu dan memilih melawan sampai titik darah penghabisan. Istana I Gusti Ngurah Made Agung dulu bernama Puri Denpasar yang berada di sebelah utara alun-alun atau Lapangan Puputan Badung sekarang. Setelah diduduki Belanda, istana itu dijadikan kantor dan rumah jabatan Asisten Residen Bali dan Lombok. Setelah Indonesia merdeka, tempat itu dijadikan rumah jabatan Gubernur Bali yang kini dikenal dengan nama Jaya Sabha.

Selain diabadikan menjadi nama lapangan, I Gusti Ngurah Made Agung juga diabadikan dengan sebuah patung di simpang empat Banjar Taensiat, Denpasar, kira-kira 800 meter arah utara patung Catur Muka. Patung itu memvisualisasikan Raja I Gusti Ngurah Made Agung memegang lontar. Memang, selain sebagai raja, beliau juga dikenal sebagai sastrawan penting Bali dengan karya-karya sastra tradisional yang diakui memiliki nilai sastra dan nila- nilai filosofis tinggi. Pada ruas Jalan Veteran yang menghubungkan patung Catur Muka dengan patung I Gusti Ngurah Made Agung, juga berdiri Puri Agung Satria yang dihuni keturunan raja-raja Badung dari Puri Denpasar. Selain itu, di jalur jalan ini juga berdiri Pasar Satria yang dikenal sebagai pasar burung terbesar di Bali.

patung catur muka

Patung Catur Muka – Lonceng Kolonial Belanda

Patung Catur Muka terletak di ujung timur Jalan Gajah Mada dan merupakan ikon penting Kota Denpasar. Tempat berdirinya patung Catur Muka merupakan kawasan catus patha (simpang empat utama) di Kota Denpasar. Ide pembuatan patung ini lahir setelah disahkannya Lambang Daerah Kabupaten Badung oleh DPRD, serta telah mendapat pengesahan Mendagri tanggal 17 Juli 1971.

Patung Catur Muka melibatkan I Wayan Limbak, pemacek pura Samuan Tiga yang didukung para undagi I Gusti Aji Madongan, I Gusti Ngurah Cangbe, dan I Nyoman Suka

Patung granit setinggi sembilan meter itu berwujud empat muka. Patung ini melambangkan Dewa Brahma yang memiliki empat wajah dengan sifat berbeda. Wajah yang menghadap timur (ke Jalan Surapati) disebut Shanghyang Iswara, mewakili sifat bijaksana. Wajah yang menghadap ke barat (ke Jalan Gajah Mada) disebut sebagai Sanghyang Mahadewa yang mewakili sifat kasih sayang. Wajah yang menghadap utara (ke Jalan Veteran) disebut Sanghyang Wisnu yang dimaknai mewakili sifat kuat dan mensucikan jiwa manusia. Wajah yang menghadap ke selatan (ke Jalan Udayana) disebut sebagai Sanghyang Brahma yang dimaknai mewakili sifat menjaga ketentraman.

Di sisi tenggara patung Catur Muka dipajang jam lonceng berukuran besar dari zaman kolonial. Jam lonceng ini ditancapkan pemerintah Belanda pada tahun 1908 di lokasi patung Catur Muka sekarang. Keberadaan jam lonceng ini sebagai penanda modernisasi di Kota Denpasar, yaitu standarisasi waktu ala kolonial sekaligus menjadi simbol transformasi Denpasar dari kota kerajaan ke kota kolonial.