Jalan Gajah Mada merupakan ikon Kota Denpasar. Orang belum merasa ke Denpasar bila belum menginjakkan kaki di Jalan Gajah Mada. Pada era kolonial, Jalan Gajah Mada menjadi akses utama masyarakat, sekaligus merupakan embrio berkembangnya pariwisata Denpasar. Daya tarik utama Jalan Gajah Mada, tentu saja, sisi historisnya yang ditunjukkan dengan bangunan-bangunan tua di kanan-kiri. Sehingga ditetapkan sebagai kawasan heritage atau warisan budaya sejak tahun 2008.
Sejak zaman kolonial, Jalan Gajah Mada merupakan kawasan niaga dengan katakteristik multikultural yang kental. Di sini, para pedagang keturunan Tionghoa, Arab, India, Madura, dan Jawa, telah terbiasa hidup berdampingan secara harmonis. Masyarakat Kota Denpasar juga mengenang Jalan Gajah Mada sebagai pusat hiburan, khususnya film. Di sepanjang Jalan Gajah Mada berdiri sejumlah bioskop, seperti Wisnu Teater di ujung barat Jalan Gajah Mada, Hollywood Teater yang kemudian berubah menjadi Indra Djaja, lalu Indra Teater di simpang barat Jalan Gajah Mada.
Pada tahun 1964, pernah digelar ajang festival budaya di Jalan Gajah Mada bertajuk Festival Gajah Mada. Dalam teks-teks karya sastra Indonesia maupun Bali Modern, keberadaan Jalan Gajah Mada dilukiskan sebagai kawasan yang “tak mengenal tidur”.
Sepasang patung berwujud raksasa di ruas Jalan Gajah Mada, dekat jembatan Tukad Badung dan depan Pasar Badung, merupakan visualisasi Sang Kala Tri Semaya. Patung setinggi 3 motor dan berbobot 3,3 ton ini selesai digarap pada 29 November 2021 dan baru dipasang pada 30 November 2021 malam serta diupacarai pada pertengahan Desember 2021 bertepatan dengan pelaksanaan Denpasar Festival. Hasil karya seni tersebut merupakan buah tangan seniman Kota Denpasar, I Nyoman Gede Sentana Putra atau yang akrab disapa Kedux. Patung ini diselesaikan selama tiga bulan, dibantu rekan-rekan Kedux dari Tabanan serta Gianyar.
Sang Kala Trisemaya sejatinya visualisasi tiga dimensi cerita lontar Siwagama. Sang Kala Trisemaya merupakan sosok penjaga bumi yang dipersepsikan mampu dan peka terhadap perilaku dan gerak-gerik manusia, seperti salah laku, salah ujar dan berbohong.
Selain patung Sang Kala Trisemaya di ruas Jalan Gajah Mada, di areal Pasar Badung juga berdiri patung Ida Ratu Mas Melanting. Patung ini dipasang bersamaan dengan patung Sang Kala Trisemaya pada 30 November 2021. Patung setinggi 4,5 meter dan lebar 1,5 meter ini buah karya Putu Marmar Herayukti yang selama ini dikenal sebagai seniman ogoh-ogoh dan seniman tato asal Banjar Gemeh, Desa Dauh Puri Kangin, Denpasar.
Patung Ida Ratu Mas Melanting diniatkan pembuatnya menjadi ikon kemakmuran masyarakat di Kota Denpasar. Ada pesan khusus yang ingin diangkat lewat patung ini, yakni prinsip penting dalam dunia perdagangan maupun kehidupan, yakni adil, jujur, dan bermutu.
Dalam teks-teks sastra tradisional disebutkan, sosok Ida Ratu Mas Melanting adalah putri dari Dang Hyang Nirarta, maharsi suci dari Jawa Timur yang turut membangun peradaban Hindu di Bali. Ratu Ayu Mas Melanting memiliki nama asli Ida Ayu Swabhawa. Tokoh ini dicitrakan memiliki karakter bijaksana, cerdas dan ahli dalam perniagaan. Kecantikan serta karakter Ida Ayu Swabhawa menyebabkan dirinya terkenal sebagai pedagang yang selalu digemari oleh pelanggannya dan dijadikan contoh bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang. Karena itu, hingga kini masyarakat Bali senantiasa memberikan penghormatan kepada Ratu Ayu Mas Melanting. Beliau dianggap sebagai simbol intelektual perempuan Bali dalam bidang kewirausahaan.