patung catur muka

Informasi Medokaran di Denpasar

Madokaran merupakan bagian dari program Denpasar Heritage City Tour yang diinisiasi oleh Wali Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara, dan dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata Kota Denpasar di bawah pimpinan Ibu Dezire Mulyani. Program ini bertujuan mengenalkan objek-objek wisata di Kota Denpasar, terutama yang berkaitan dengan keberadaan Denpasar sebagai Kota Pusaka.

Kawasan Heritage Gajah Mada adalah kawasan pusaka budaya yang terbentang dari Jalan Thamrin di barat sampái Patung Catur Muka di timur.  Di kawasan ini, masyarakat keturunan Cina, Arab, India, dan Jawa telah hidup berdampingan dengan masyarakat Bali lebih dari seabad. Tak hanya membentuk ikatan komunitas yang mengusung pusat perdagangan tradisional terbesar dan kawasan bisnis tertua di Bali, namun juga bukti akan keberlangsungan multikulturisme di Bali.

Program Madokaran dibuka untuk umum setiap hari Sabtu dan Minggu pukul 09.00 – 15.00 WITA. Yang menarik, program ini gratis. Ada dua rute yang ditawarkan dalam program Madokaran ini, yaitu rute A dimulai dan diakhiri di Terminal Tegal (PP), serta rute B dimulai dan diakhiri di pelataran Pasar Badung (PP). Pemerintah Kota Denpasar menyediakan delapan unit dokar untuk program ini. Di masing-masing lokasi disediakan empat unit dokar.

sejarah dokar

Sejarah Dokar Denpasar

Dokar dikenal sebagai salah satu moda transportasi umum di Kota Denpasar pada zaman kolonial. Menurut catatan Belanda, pada masa kolonial sudah ada 261 buah dokar di Kota Denpasar. Dokar dikemudikan seorang kusir yang biasanya mengenakan pakaian tradisional serta membawa pecut (cemeti). Dilengkapi dengan suara bel di kedua sisi sehingga menimbulkan bunyi yang khas ditingkahi bunyi derap langkah kuda. Masa keemasan dokar di Denpasar, terjadi pada tahun 1960-an. Bahkan, Denpasar pernah memiliki organisasi kusir dokar, yaitu Persatuan Dokar Denpasar (Perdoden).

Sejak era Orde Baru, seiring makin membanjirnya sepeda motor dan mobil, keberadaan dokar pelan-pelan mulai tergusur.

Sejak tahun 2000-an, Pemerintah Kota Denpasar mengembangkan city tour dan menjadikan dokar sebagai salah satu atraksi wisata. Dokar direvitalisasi sebagai dokar hias dan ditawarkan kepada wisatawan yang ingin berkeliling menikmati objek-objek wisata bersejarah di pusat Kota Denpasar.

Makam Siti Kodijah 1

Makam Keramat Raden Ayu Siti Khodijah

Di utara Setra Agung Badung, Desa Pekraman Denpasar terdapat dua pusaka budaya penting berupa Makam Keramat Ratu Ayu Siti Khodijah Pemecutan dan Kuburan Tuan Miora dari Jepang. Kuburan Tuan Miora dan Makam Keramat Ratu Ayu Siti Khodijah Pemecutan letaknya berjejer terletak di sebelah timur Pura Dalem Kahyangan Denpasar.

Tuan Miora Djo adalah seorang tentara Jepang yang lahir pada tahun 1888. Ia meninggal pada tanggal 7 September 1945. Pada masa hidupnya ia begitu kecewa akan kebiadaban dan kekerasan yang dilakukan oleh penjajah. Ia berbalik haluan memihak kepada warga pribumi dan banyak menolong warga pribumi. Sebelum meninggal ia berpesan agar dapat dikubur bersama-sama rakyat di Sema Badung.

Makam Keramat Ratu Ayu Siti Khotijah Pemecutan, merupakan makam salah satu putri Raja Pemecutan bernama Gusti Ayu Made Rai atau disebut juga dengan Raden Ayu Pemecutan. Ia menikah dengan putra Raja Bangkalan yang bernama Raden Sosroningrat. Setelah pernikahan mereka, Dewi Ayu diajak ke Madura, memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Siti Khotijah.

Menurut legenda, makam Keramat Agung dipersembahkan untuk Siti Khotijah yang rela mengorbankan dirinya akibat kesalahpahaman, ketika para pengawal Kerajaan Pemecutan tak sengaja mendapatkannya sedang melakukan ibadah mengenakan kerudung putih. Ia disangka sedang memraktikkan ilmu gaib, ngeleak. Kisah salah paham tragis ini menyebabkan kematiannya dalam ketidakadilan.

Di dunia multikultural saat ini, kita berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya setiap hari. Kita harus mengingat kisah Siti Khotijah dan belajar untuk menghargai, menghormati, dan merayakan perbedaan ini. Dengan melakukan ini, akan membawa pemahaman, penerimaan, dan perdamaian yang lebih besar di antara kita semua.

Puri Agung Tjokorda Pemecutan

Puri Agung Pemecutan dan Patung Ida Tjokorda Pemecutan IX

Puri Agung Pemecutan merupakan istana Raja Badung yang didirikan pada tahun 1686. Pada mulanya, Puri Pemecutan berada di sebelah barat lokasi Puri Agung Pemecutan saat ini. Pemindahan lokasi Puri Pemecutan ini terjadi pasca-Perang Puputan Badung, 20 September 1906. Dikarenakan puri yang lama hancur dan dikuasai Belanda. Nama Pemecutan, berdasarkan cerita lisan masyarakat di Kota Denpasar, berasal dari kata pecut. Kyai Ketut Pemedilan atau Kyai Macan Gading yang merupakan pendiri Puri Pemecutan disebut-sebut memiliki keahlian memainkan pecut (cemeti). Hingga kini, pecut menjadi lambang kebesaran keluarga besar Puri Pemecutan.

Di simpang empat depan Puri Agung Pemecutan berdiri patung I Gusti Ngurah Agung Pemecutan alias Ida Tjokorda Pemecutan IX yang tengah ditandu empat prajurit. Ini merupakan visualisasi dari sosok Ida Tjokorda Pemecutan IX yang gugur dalam perang Puputan Badung, 20 September 1906 bersama Raja Denpasar, I Gusti Ngurah Made Agung atau dikenal dengan sebutan Tjokorda Mantuk ring Rana.

Sebagaimana catatan Belanda, Puri Pemecutan direbut pasukan Belanda pada sore hari setelah beberapa jam sebelumnya berhasil menguasai Puri Denpasar. Ida Tjokorda Pemecutan IX bersama Raja Denpasar, I Gusti Ngurah Made Agung gugur membela kedaulatan, harga diri rakyat, dan Kerajaan Badung.

Source Cover Image: Denpasar Tourism

Source Instagram: laxmiii_sbdr

Pura Tambang Badung 2 cropped

Pura Penambangan Badung

Pura Penambangan Badung merupakan pura yang berfungsi sebagai pura kerajaan Badung. Menurut sumber-sumber tradisional, pura ini didirikan pada awal-awal berdirinya kerajaan Badung oleh Kiyai Jambe Pule, yang bergelar Kiyai Anglurah Pemecutan I.

Nama Pura Penambangan erat kaitannya dengan anugerah yang diterima Kiyai Jambe Pule di Gunung Batukaru, yaitu berupa pecut (cemeti) dan tambang (tali). Pura ini dimaknai sebagai tali pengikat keluarga dan warga Pemecutan. Di pura ini berdiri berbagai palinggih (bangunan suci), termasuk paibon (ikatan keluarga) dari semua warga yang berjasa dalam pendirian Kerajaan Badung.

Tercatat ada 52 palinggih dengan 18 di antaranya merupakan palinggih paibon dan sisanya merupakan palinggih panyawangan berbagai pura penting di Bali. Pura ini di-empon (di bawah tanggung jawab) warga Puri Pemecutan. Upacara pujawali (hari peringatan berdirinya pura) dilaksanakan saban Purnama Kadasa (purnama pada bulan ke sepuluh dalam tradisi penanggalan Bali, sekitar bulan Maret).

Source Cover Image: Denpasar Tourism

Source: Denpasar Tourism

jalan-setiabudi-1

Jalan Setiabudi

Jalan Setiabudi merupakan salah satu sentra kuliner di Kota Denpasar. Di sepanjang jalan ini berjejer aneka warung kuliner khas Denpasar. Para penggemar nasi jingo, nasi bungkus khas Denpasar, tentu tidak akan melewatkan untuk mampir ke lapak-lapak para pedagang nasi jingo di sepanjang jalan ini. Lapak-lapak nasi jingo biasanya mulai menggelar dagangannya sejak petang hingga malam hari.

Sepanjang pagi hingga sore, warung-warung kuliner khas Bali, seperti nasi babi guling, be genyol, maupun nasi jukut gonda, tentu sayang untuk dilewatkan. Namun, bagi pengunjung yang menginginkan menu kuliner non-Bali, juga tidak perlu khawatir karena di kawasan ini juga bisa ditemukan sejumlah warung kuliner umum, seperti bakmie, ayam bakar, ayam lalapan, tahu goreng, dan lainnya.

Source Image Cover: Google Maps

gajah-mada-timur-1-cropped

Jalan Gajah Mada (Timur)

Jalan Gajah Mada merupakan ikon Kota Denpasar. Orang belum merasa ke Denpasar bila belum menginjakkan kaki di Jalan Gajah Mada. Pada era kolonial, Jalan Gajah Mada menjadi akses utama masyarakat sekaligus merupakan embrio berkembangnya pariwisata Denpasar. Daya tarik utama Jalan Gajah Mada tentu saja sisi historisnya yang ditunjukkan dengan kehadiran bangunan-bangunan tua di kanan-kiri sehingga ditetapkan sebagai kawasan heritage atau warisan budaya sejak tahun 2008.

Sejak zaman kolonial, Jalan Gajah Mada merupakan kawasan niaga dengan katakteristik multuktural yang kental. Di sini, para pedagang keturunan Tionghoa, Arab, India, Madura, dan Jawa telah terbiasa hidup berdampingan secara harmonis. Masyarakat Kota Denpasar juga mengenang Jalan Gajah Mada sebagai pusat hiburan, khususnya film. Di sepanjang Jalan Gajah Mada berdiri sejumlah bioskop, seperti Wisnu Teater di ujung barat Jalan Gajah Mada, Hollywood Teater yang kemudian berubah menjadi Indra Djaja lalu Indra Teater di simpang barat Jalan Gajah Mada.

Pada tahun 1960-an, pernah digelar ajang festival budaya di Jalan Gajah Mada bertajuk Festival Gajah Mada. Dalam teks-teks karya sastra Indonesia maupun Bali Modern, keberadaan Jalan Gajah Mada dilukiskan sebagai kawasan yang “tak mengenal tidur”.

Source Image Cover: Google Maps

IMG_0996

Museum Bali

Museum Bali terletak di sebelah selatan Pura Jagatnatha, dan merupakan museum tertua di Bali. Pendirian museum itu dirintis sejak sejak tahun 1910 atas prakarsa Asisten Residen WFJ Kroon bersama para pemimin, dan tokoh seniman bali, I Gusti Ketut Kandel dari banjar abasan dan I Gusti Ketut Rai dari banjar belong, serta arsitek Jerman, Curt Grun-dler. Arsitektur Museum Bali merupakan perpaduan antara struktur bangunan pura (tempat suci) dan puri (keraton).

Pada tahun 1925, bangunan bergaya Karangasem, yang berbentuk bale panjang dan berada di pusat kompleks, telah berhasil dibangun sebagai representasi arsitektur Bali Timur. Struktur ini terdiri dari dua bagian, yaitu ruang luar dan ruang dalam. Beranda terbuka di ruang depan berfungsi sebagai tempat beristirahat bagi para pengunjung museum, sementara ruang dalam diperuntukkan sebagai area pameran.

Tak lama setelahnya, dua struktur tambahan rampung dibangun, yaitu Gedung Tabanan dan Gedung Buleleng. Gedung Tabanan, yang terletak di utara gedung Karangasem, didesain menyerupai meru dengan atap tumpang dua dan terbuat dari ijuk. Bangunan ini merupakan perwakilan seni arsitektur Bali Selatan. Sedangkan Gedung Buleleng, berlokasi di selatan gedung Karangasem, juga dirancang dengan bentuk meru. Struktur ini didukung oleh 33 sesaka – kayu yang diukir dengan motif pepatraan dan dicat dengan prada. Gedung ini memiliki empat pintu yang masing-masing mengarah ke empat penjuru mata angin. Di tengah ruangan, terdapat tugeh – poros tiang penyangga atap dengan patung singa bersayap (Singamara) di alasnya, yang merupakan simbol dari Kabupaten Buleleng.

Pada awalnya, Museum Bali ditangani Yayasan Bali Museum dan dibuka secara resmi pasa 8 Desember 1932 dengan nama Bali Museum. Setelah Indonesia merdeka, pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah RI pada 5 Januari 1966. Benda-benda koleksi di Museum Bali dapat meliputi benda-benda prasejarah, benda-benda dari zaman sejarah, dan benda-benda etnografi.

 

 

patung-rsi-2

Patung Rsi di Pertigaan Suci

Memasuki persimpangan Jalan Diponegoro-Jalan Hasanuddin-Jalan Sumatra, pengunjung akan menemukan sebuah patung tepat di tengah persimpangan. Patung itu berupa sosok seorang rsi atau pendeta membawa genta. Masyarakat biasa menyebutnya sebagai Patung Rsi. Rsi atau pendeta merupakan sosok orang yang disucikan dalam kehidupan keagamaan masyarakat Bali.

Patung Rsi tampaknya sudah ada pada tahun 1920-an. Ini terlihat dari foto-foto Belanda. Karena itu, patung ini sudah berusia seabad. Hanya saja, kini posisi patung lebih tinggi. Dulu patung tersebut dipasang sejajar dengan jalan.

Patung Rsi merupakan ikon kawasan Suci. Dulu, kawasan Suci merupakan terminal untuk angkutan dalam kota dan antarkota, pompa bensin, dan pasar senggol. Kini, di kawasan ini berdiri kompleks pertokoan Suci Plaza yang dipenuhi oleh jejeran toko emas.

Sebelumnya, sejak lama tempat ini menjadi pusat kehidupan malam Kota Denpasar. Di tempat ini pula istilah nasi jingo mulai muncul hingga menjadi ikon kuliner Denpasar. Siang hari, kawasan Suci berfungsi sebagai terminal angkutan dalam kota dan antarkota. Pada tahun 1970-an hingga tahun 1980-an, angkutan kota dilayani bemo roda tiga. Selain itu, terminal Suci juga jadi tempat mangkal mini bus yang melayani angkutan ke Tabanan dan Negara.

Tahun 1980-an, seiring dengan usaha mempercantik dan mempermodern wajah Kota Denpasar, terminal Suci dialihfungsikan menjadi pertokoan bertingkat, Suci Plaza. Di bawahnya dimanfaatkan sebagai tempat parkir bawah tanah. Setelah itu, kawasan Suci, terutama Jalan Hasanuddin berubah menjadi kompleks pertokoan emas.

jalan-hassanudin-1

Jalan Hasanuddin

Setelah melewati ujung selatan Jalan Sulawesi, pengunjung akan memasuki Jalan Hasanudin. Jika Jalan Sulawesi dikenal sebagai sentra perdagangan kain, Jalan Hasanudin merupakan kawasan perdagangan emas. Di sepanjang jalan ini berjejer toko-toko emas yang menyediakan aneka perhiasan emas berkualitas.

Toko-toko perhiasan di sepanjang Jalan Hasanudin biasanya buka sejak pukul 08.00 wita hingga malam hari pukul 21.00 wita. Emas yang dijual di toko-toko di kawasan ini beragam, mulai dari emas berkadar rendah hingga tinggi. Tak hanya menjual, toko-toko emas di Jalan Hasanudin juga membeli emas dari pelanggan yang hendak menjual perhiasan emasnya.

Selain pusat perdagangan emas, dari kawasan Jalan Hasanudin juga dapat dilihat Tukad Badung yang membelah Pasar Badung. Dari atas jembatan, pengunjung bisa menikmati keindahan Tukad Badung yang kini menjadi destinasi wisata baru di Kota Denpasar.

Belok ke kiri dari simpang empat bagian barat Jalan Hasanudin, pengunjung akan menyusuri kawasan Jalan Bukit Tunggal. Di kawasan ini berdiri sejumlah hotel Melati yang kerap dipilih wisatawan domestik.

jalan-thamrin

Jalan Thamrin sebagai sentra perdagangan

Jalan Thamrin merupakan kawasan perdagangan dan jasa, sekaligus sebagai kawasan transisi antara pusat perdagangan kota Denpasar dengan daerah yang sebagian besar merupakan permukiman. Selain keberadaan Puri Agung Pemecutan sebagai heritage bernilai historis-kultural tinggi, di sepanjang Jalan Thamrin berdiri sejumlah perkantoran dan perdagangan. Di kawasan ini berdiri kompleks pertokoan Lokitasari yang melegenda.

Selain kawasan perdagangan, kini Jalan Thamrin juga dikenal dengan ikon bioskop Denpasar Cineplex. Sebelumnya, sejak tahun 1986, di sini pernah berdiri bioskop Wisata 21 dari jaringan Cineplex 21. Namun, seiring meredupnya industri bioskop, pada tahun 2008, Wisata 21 ditutup. Pada tahun 2013, merespons kembali meningkatnya kebutuhan masyarakat Denpasar terhadap bioskop, berdirilah Denpasar Cineplex hingga sekarang.

Jalan Thamrin awalnya bernama Jalan Gambuh. Namun, pada tahun 1964, Pemerintah melakukan perubahan besar-besaran atas nama jalan di Kota Denpasar. Kala itu, nama jalan di Denpasar ditata menjadi empat sektor, yaitu sektor satu di Timur Laut menggunakan nama buah; sektor dua di Tenggara menggunakan nama pahlawan; sektor tiga di Barat Daya nama pulau/gunung; dan di Barat Laut menggunakan nama kesenian. Perubahan nama jalan disosialisasikan di surat kabar Suara Indonesia (nama lama Bali Post) secara bersambung mulai edisi 29 Mei 1964 (di halaman depan dan kemudian di halaman dalam). Saat itu banyak jalan yang mengalami perubahan nama, kecuali Jalan Gajah Mada.

Jalan Gambuh yang berada di sektor tenggara turut berubah nama menjadi Jalan Thamrin yang merujuk nama salah satu pahlawan nasional Indonesia.

gajah-mada-timur-1-cropped

Sisi Barat Jalan Gajah Mada, Patung Kala Tri Semaya dan Dewi Melanting

Jalan Gajah Mada merupakan ikon Kota Denpasar. Orang belum merasa ke Denpasar bila belum menginjakkan kaki di Jalan Gajah Mada. Pada era kolonial, Jalan Gajah Mada menjadi akses utama masyarakat, sekaligus merupakan embrio berkembangnya pariwisata Denpasar. Daya tarik utama Jalan Gajah Mada, tentu saja, sisi historisnya yang ditunjukkan dengan bangunan-bangunan tua di kanan-kiri. Sehingga ditetapkan sebagai kawasan heritage atau warisan budaya sejak tahun 2008.

Sejak zaman kolonial, Jalan Gajah Mada merupakan kawasan niaga dengan katakteristik multikultural yang kental. Di sini, para pedagang keturunan Tionghoa, Arab, India, Madura, dan Jawa, telah terbiasa hidup berdampingan secara harmonis. Masyarakat Kota Denpasar juga mengenang Jalan Gajah Mada sebagai pusat hiburan, khususnya film. Di sepanjang Jalan Gajah Mada berdiri sejumlah bioskop, seperti Wisnu Teater di ujung barat Jalan Gajah Mada, Hollywood Teater yang kemudian berubah menjadi Indra Djaja, lalu Indra Teater di simpang barat Jalan Gajah Mada.

Pada tahun 1964, pernah digelar ajang festival budaya di Jalan Gajah Mada bertajuk Festival Gajah Mada. Dalam teks-teks karya sastra Indonesia maupun Bali Modern, keberadaan Jalan Gajah Mada dilukiskan sebagai kawasan yang “tak mengenal tidur”.

Sepasang patung berwujud raksasa di ruas Jalan Gajah Mada, dekat jembatan Tukad Badung dan depan Pasar Badung, merupakan visualisasi Sang Kala Tri Semaya. Patung setinggi 3 motor dan berbobot 3,3 ton ini selesai digarap pada 29 November 2021 dan baru dipasang pada 30 November 2021 malam serta diupacarai pada pertengahan Desember 2021 bertepatan dengan pelaksanaan Denpasar Festival. Hasil karya seni tersebut merupakan buah tangan seniman Kota Denpasar, I Nyoman Gede Sentana Putra atau yang akrab disapa Kedux. Patung ini diselesaikan selama tiga bulan, dibantu rekan-rekan Kedux dari Tabanan serta Gianyar.

Sang Kala Trisemaya sejatinya visualisasi tiga dimensi cerita lontar Siwagama. Sang Kala Trisemaya merupakan sosok penjaga bumi yang dipersepsikan mampu dan peka terhadap perilaku dan gerak-gerik manusia, seperti salah laku, salah ujar dan berbohong.

Selain patung Sang Kala Trisemaya di ruas Jalan Gajah Mada, di areal Pasar Badung juga berdiri patung Ida Ratu Mas Melanting. Patung ini dipasang bersamaan dengan patung Sang Kala Trisemaya pada 30 November 2021. Patung setinggi 4,5 meter dan lebar 1,5 meter ini buah karya Putu Marmar Herayukti yang selama ini dikenal sebagai seniman ogoh-ogoh dan seniman tato asal Banjar Gemeh, Desa Dauh Puri Kangin, Denpasar.

Patung Ida Ratu Mas Melanting diniatkan pembuatnya menjadi ikon kemakmuran masyarakat di Kota Denpasar. Ada pesan khusus yang ingin diangkat lewat patung ini, yakni prinsip penting dalam dunia perdagangan maupun kehidupan, yakni adil, jujur, dan bermutu.

Dalam teks-teks sastra tradisional disebutkan, sosok Ida Ratu Mas Melanting adalah putri dari Dang Hyang Nirarta, maharsi suci dari Jawa Timur yang turut membangun peradaban Hindu di Bali. Ratu Ayu Mas Melanting memiliki nama asli Ida Ayu Swabhawa. Tokoh ini dicitrakan memiliki karakter bijaksana, cerdas dan ahli dalam perniagaan. Kecantikan serta karakter Ida Ayu Swabhawa menyebabkan dirinya terkenal sebagai pedagang yang selalu digemari oleh pelanggannya dan dijadikan contoh bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang. Karena itu, hingga kini masyarakat Bali senantiasa memberikan penghormatan kepada Ratu Ayu Mas Melanting. Beliau dianggap sebagai simbol intelektual perempuan Bali dalam bidang kewirausahaan.

Source: Google Maps

Source: Google Maps

ina bali hotel heritaga hotel hotel indonesia group

Bali Hotel

Inna Bali Heritaga Hotel, sebelumnya dikenal sebagai Bali Hotel, adalah akomodasi pariwisata paling tua di Bali yang dibangun pada tahun 1927 oleh pemerintahan kolonial Belanda. Awalnya, hotel ini dimanfaatkan sebagai tempat istirahat bagi awak kapal dari Perusahaan Pelayaran Belanda KPM (Koninkelijke Paketvaar Matschappij) yang merapat di Bali. Bali Hotel mulai beroperasi pada tahun 1928 setelah diserahkan oleh Pemerintah Belanda kepada KPM.

Inna Bali Heritage Hotel merupakan kompleks bangunan yang terletak di kedua sisi Jalan Veteran. Area hotel di sisi barat jalan dibangun dengan desain arsitektur Eropa, terlihat pada bangunan lobi, kantor depan, dapur, ruang makan, dan penginapan. Bagian hotel yang berada di sisi timur jalan meliputi gedung multifungsi dan kamar tidur. Salah satu kamar istimewa hotel ini adalah Suite No. 77, tempat istirahat favorit Presiden RI pertama, Ir. Soekarno.

Bali Hotel adalah testamen perpaduan budaya Bali tradisional dan kenyamanan modern. Hotel ini memamerkan arsitektur yang terinspirasi dari warisan budaya Bali yang unik dan modernitas bernuansa kolonial. Walter Spies, Colin McPhee, Jane Belo, Miguel Covarrubias, Margaret Mead, Gregory Bateson, dan Charlie Chaplin adalah sederet seniman dan ilmuwan asing, yang kerap berkumpul di hotel legendaris tersebut pada masa tahun 1930-an.