Lapangan Puputan Badung atau Lapangan I Gusti Ngurah Made Agung erat kaitannya dengan peristiwa heroik Puputan Badung, 20 September 1906. Di lokasi inilah, yang awalnya dikenal sebagai alun-alun, Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung yang dikenal juga dengan sebutan Tjokorda Mantuk ring Rana (raja yang gugur di medan perang) bersama
kerabat dan rakyat melakukan perang habis-habisan (matelasan atau puputan, telas atau puput berarti ‘habis’) menghadapi tentara Belanda. Perang Puputan Badung mencerminkan perlawanan raja dan rakyat Badung menentang kolonialisme Belanda. Perang ini dipicu oleh tuntutan Belanda kepada Raja Badung untuk membayar ganti rugi atas tuduhan perampasan kapal Sri Komala di Pantai Sanur. Raja I Gusti Ngurah Made Agung menolak tuntutan Belanda itu dan memilih melawan sampai titik darah penghabisan. Istana I Gusti Ngurah Made Agung dulu bernama Puri Denpasar yang berada di sebelah utara alun-alun atau Lapangan Puputan Badung sekarang. Setelah diduduki Belanda, istana itu dijadikan kantor dan rumah jabatan Asisten Residen Bali dan Lombok. Setelah Indonesia merdeka, tempat itu dijadikan rumah jabatan Gubernur Bali yang kini dikenal dengan nama Jaya Sabha.
Selain diabadikan menjadi nama lapangan, I Gusti Ngurah Made Agung juga diabadikan dengan sebuah patung di simpang empat Banjar Taensiat, Denpasar, kira-kira 800 meter arah utara patung Catur Muka. Patung itu memvisualisasikan Raja I Gusti Ngurah Made Agung memegang lontar. Memang, selain sebagai raja, beliau juga dikenal sebagai sastrawan penting Bali dengan karya-karya sastra tradisional yang diakui memiliki nilai sastra dan nila- nilai filosofis tinggi. Pada ruas Jalan Veteran yang menghubungkan patung Catur Muka dengan patung I Gusti Ngurah Made Agung, juga berdiri Puri Agung Satria yang dihuni keturunan raja-raja Badung dari Puri Denpasar. Selain itu, di jalur jalan ini juga berdiri Pasar Satria yang dikenal sebagai pasar burung terbesar di Bali.